Selasa, 19 Januari 2016


Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya
Model Kontingensi dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967). Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974)
Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu
Untuk menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam bentuk skala semantic differential, suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler menyimpulkan bahwa:
1.      Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.
2.      Pemimpin dengan skor LPC tinggi (pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat dengan keuntungannya.
Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi atau lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:
a.       Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)
Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah / dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority).
b.       Struktur tugas (task structure)
Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur.
c.       Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)
Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan dan struktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha / organisasi selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).

Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.
B.   Pedoman Wawancara
I.                   Subjek
A.    Identitas Subjek
1.      Nama (Inisial)             :
2.      Jenis Kelamin              :
3.      Usia                             :
4.      Tinggi Badan              :
5.      Berat Badan                :
B.     Daftar Pertanyaan
1.      Bagaimana bentuk organisasi yang anda pimpin ?
2.      Bagaimana perkembangan organisasi yang anda pimpin ?
3.      Bagaimana pembagian kewenangan dalam memanajemen organisasi ini ?
4.      Bagaimana hubungan anda dengan pegawai ?
5.      Bagaimana sikap anda jika mendapati ada pegawai yang bersikap skeptis ?
6.      Bagaimana tindakan anda jika menemukan pegawai yang kurang inisiatif ?
7.      Bagaimana cara anda agar pegawai anda dapat satu visi misi dengan anda?
8.      Bagaimana strategi anda untuk menjaga solidaritas antar pegawai anda?






C.   Hasil Wawancara
I.    Subjek
A.    Identitas Subjek
1.      Nama (Inisial)                   : A
2.      Jenis Kelamin                    : Laki-laki
3.      Usia                                   : ±25 Tahun
4.      Tinggi Badan                    : ±170 cm
5.      Berat Badan                      : ±70 Kg
B.     Verbatim
Interviewer: “malem bro”
Interviewee: “malem bro”
Interviewer: “San gue mau wawancara lu sebentar ya”
Interviewee: “Boleh boleh silahkan”
Interviewer: “Eemm lu itu ketua umum kan di sebro nii”
Interviewee: “Iya betul gue sebagai ketua umum di sebro ini
Interviewer: ”Bisa di ceritain gak sih sebenernya rumah sebro tu sebenernya apa
sih?”
Interviewee: ”Sumber gimana maksudnya?”
Interviewer: ”Emm apa rumah sebro? Sebro tuh apa? Apakah tempat belajar?”
Interviewee: ”Rumah sebro kalo dari secara garis awal kita bermula berdiri itu dulu sebenernya gue membuat sebuah kedai, kedai restoran sih kecil – kecilan, jadi dulu tuh awalnya, gue lulus sekolah gue udah punya niatan buka kedai tapi di tengah perjalanan gua ngerintis usaha gue itu, gue mengalami em apa itu namanya kekurangan secara financial, jadi ituu pas karena gue juga suka hobi gitu kan gua ada hobi yang gue suka jadi gitu kan di musik, dan temen-temen gue pun sama gabung dari grup perkusi emping, trus kita juga suka juga sama gambas, sket santai, kita bikin komunitas sket santai, trus ada juga teater kabita, dan juga akhirnya waktu pas itu dulu inget banget, waktu bulan april itu kita eeh lomba di bekasi, nah awal mula rumah sebro nih, dulu kita latihan perkusi di rumah, disini gitu kan di sebro, dulu tuh  eeh kita latih-latihan gitu kan disini, jadi banyak anak-anak kecil di sekitar rumah gue ini dia tuh pada dateng gitu kan (suara motor lewat) karena memang kan gue bikin suara gaduh, tapi gaduh yang unik gitu kan dengan kita bermain musik dari alat bekas gitu kan, akhirnya kita tuh melihat dari segi sisi anak tersebut kayaknya tuh mereka mau belajar gitu kan, karena kalo liat dari mukanya sendiri mereka tuh antusias banget sampe dateng gitu kan, rutin banget, kalo lagi latihan pasti ada anak, rame tuh pasti pada dateng kan anak, akhirnya eeuu setelah kita pikir-pikir, setelah kita lomba dan alhamdulillah juga, gue lomba waktu itu di bekasi menang juara 2, lomba piala walikota waktu itu, dan akhirnya setelah gue kumpul-kumpul lagi sama temen-temen kita sepakat nih kayaknya ngeliat keadaan yang di sekitar sini gitu kan melihat antusias anak-anak di sekitar sini, makanya mita membuat rumah belajar gitu kan buat mereka, karena memang terkadang kalo kita kumpul disitu udah kayabasecamp sih, basecamp anak-anak buat kumpul gambar, kita sering sharinggambar, tukar pikiran juga gitu kan, akhirnya tercetuslah suatu eeuu inisiatif dari temen-temen semua dan kesepakatan bareng-bareng kita untuk rumah sebro gitu kan”.
Interviewer:“Jadi intinya rumah sebro itu sekarang jadi kaya semacem sekolah ya buat..”
Interviewee:”Engga sih kalo sekolah, belum kayaknya, kita lebih ke sanggar”.
Interviewer: “Oh sanggar seni (iya) musik”
Interviewee: “Seni musik, tari”.
Interviewer:“Trus itu kaya kedai kopi lu tuh punya sebro apa punya lu sendiri?”
Interviewee: ”Kalo sebenernya kalo kedai kopi sendiri punya gua, emang sebenernya tuh dulu awalnya itu kan sebro, kedai sebro mau bikinnya, cuman emang dulu mindset sedikit berubah gara-gara kekurangan secara financial, jadinya kita buat dulu rumah belajar gitu kan, entah kenapa jadimindsetnya berubah jadi rumah belajar buat anak-anak kursus gitar, jadinya kita lebih ke sanggar yang berbasis komunitas”.
Interviewer: “Oh kumunitas”.
Interviewee: “Kita berbagi, dengan berbagi menu kita berbagai ilmu, kalo kedai sendiri itu alhamdulillah setelah 1 tahun lewat dari rumah sebro bisa terwujud lah keinginan yang ingin gue capai membangun sebuah kedai”
Interviewer: “Itu kedai wewenangnya secara garis besar punya lu sendiri apa ada masuk campur tangan dari sebro”
Interviewee: “Kalo kedai sendiri sih gue sendiri”
Interviewer: “Kalo wewenang lu di rumah sebro tuh sebagai ketua tuh, apa aja ya san?”
Interviewee: “Sebagai ketua ya gue lebih pendekatan ya sama teman-teman, kaya semacam eeh kan kita punya program juga, program rumah sebro itu ada beberapa, yaitu salah satunya ada malam kreasi itu agenda kita setahun sekali kalo itu agenda besar kita untuk malam terakhir,karena kita belajar di setiap minggu, dan dipentaskan di akhir tahun itu, jadi kita setiap acara itu setahun sekali nunjukin bakat-bakat temen-temen yang kita kita udah belajar kita pentaskan kembali, juga kita ada, lagi program berjalan sih, kita namanya ada rabu baca, setiap hari rabu kita baca dan juga diskusi (terdengar suara motor) terus terkadang juga disitu kaya jadi perpustakaan umum, anak-anak kecil suka baca buku disini karena kita juga menyediakan, bagi temen-temen pun yang mau eem apa namanya berbagi buku-buku yang memang sudah tidak dibaca lagi bisa dibagikan disini gitu kan, juga kita ada sabtu berbudaya, nah itu memang belum berjalan cuman pelan-pelan sih untuk sabtu berbudaya sendiri, terus juga kalo untuk secara.. tadi apa, wewenang ya?”
Interviewer: “Iya wewenang sebagai ketua umum, lu ketua umum kan ya?”
Interviewee: ”Ketua umum itu kan karena, kalo dalam struktur, gue sebagai ketua umum didampingi sama beberapa divisi, ada ketua divisi, jadi masing-masing itu ada ketuanya, secara keseluruhan sih kita kalo buat mengatur keseluruhan kita lebih ke menyerahkan langsung kepada masing-masing divisi gitu kan, setidaknya tapi ada laporan, minimal laporannya tersebut, apa program kerjanya dan apa yang ingin dikerjakan”
Interviewer: ”Okeehh, terus hubungan lu sama anak buah, gue sebutnya anak buah jangan?”
Interviewee: ”Jangan lah, kalo anak buah kesannya ini banget, kalo gue sih lebih kekeluargaan ya disini, jadi sebenernya kalo secara struktur emang iya gitu kan tapi kalo secara yang kita tetapkan disini lebih kekeluargaan, intinya kalo secara hubungan sih alhamdulillah baik, tapi memang pasti ada aja yang ada suatu hal yang berbau konflik kaya beda pendapat tapi kita selalu setelah berbeda pendapat kita evaluasi,apa nih jadi setelah evaluasi kita kembali lagi”
Interviewer : “Oke,ada rekan lu yang ga lu senengin ngga?”
Interviewee: ”Kalo rekan yang ngga disenengin sih”
Interviewer: ”Misalkan dari cara pendapatnya gitu atau,orangnya skeptis gitu”
Interviewee: ”Oh,adalah ada ya mungkin kalo untuk hal yang seperti itu sih gue wajarin deh karena kita pasti masing-masing orang karakternya beda-beda tetapi kalo untuk secara suka ga suka sih mau ga mau harus suka karna kita kan disini berkomunikasi gitu kan perbedaan pendapat itu kan pasti gitu kan dan juga untuk penanganan sendiri gue lebih ke pendekatan gitu kan karena dari situ kita bisa tahu paham karakter orang itu seperti apa”
Interviewer: ”Terus gimana sih perasaan lo ngelihat rekan kaya gitu gimana?”
Interviewee: ”Kalo yang pasti kaya gitu terkadang gondok ya suka gondok gitu kan ya tapi ya balik lagi  gue gaboleh egois kan karna walaupun disini gue punya wewenang tapigue harus melihat dulu kan secara kita lihat dari sisi apa dulu nih kalo fatal ya kita harus tegas tapi kalo misalnya masih bisa ditoleransi ya tetep yaudah yang penting jangan egois gitu”
Interviewer: ”Biasanya orang-orang kaya gitu,yang ngga lu senengin itu dari apanya sih?apa ada”
Interviewee: ”Terkadang sih suka apatis sih terkadang kalo kita lagi rapat dia diem gitu kan terkadang kalo misalkan memang eee inisiatifnya kurang,gitu gitu”
Interviewer: ”Terus apa yang lo lakuin?”
Interviewee: ”Ya, pendekatan jadi pelan-pelan dan gua secara pertama aaaa kalo gue sih lebih ngeliat dulu anaknya kenapa gitu kan,pasti ada satu hal kaya contoh ada masalah gitu kan.karna kita bisa lihat dari segi body languagenya dia juga gitu..kalo misalkan lagi ada masalah gitu kan biasanya ketauan banget tuh anak oh ini yang biasanya dia rame eh tiba-tiba diem gitu kan tapi kalo anak anaknya dari awal memang seperti itu ya kita bisa paham gitu karena memang karakternya dia ngga bisa kalo ngomong lagi  bermusyawarah lagi rapat  tuh ngga bisa makanya gua lebih pendekatan,itu ngobrol langsung berdua gitu kan interpersonal gitu kan ngobrol berdua apa yang lo rasain ee eungkapin gitu aja”
Interviewer: ”Terus kalo struktur tugas eee di kedai subro itu sendiri?”
Interviewee: ”Kedai?Kedai?”
Interviewer: ”Oh sekolah subro,sorry salah ngomong.apa sebutannya?”
Interviewee: ”Sanggar sih inshaAllah sanggar..”
Interviewer: ”Oh sanggar..subro apanih?”
Interviewee: ”Sanggar rumah subro..Ada rumahnya karna tempat naung”
Interviewer: ”Itu struktur tugasnya kaya gimana?”
Interviewee: ”Kalo struktur tugas sih ya tadi,kembalikan aja pada masing-masing divisi tapi masing-masing divisi kan dia punya program.program-programnya itu misalnya dari setiap divisi kan smisal sastra nah itu dia ada program misalnya Rabu baca,mereka bikin puisi dan mereka ada bedah karya buku siapa gitu misalnya atau novel gitu kan terus kalo untuk temen temen yang lainnya kaya divisi tari itu mereka ada program latihan,program perlombaan, gitu kan terus untuk seni rupanya mereka ada kumpul  gambar bareng  kadang sharing bareng  terus juga mereka ada apa namanya kaya  membuat pameran gitu-gitu  terus lebih ke praktek sih kalo untuk yang seni rupa.kalo untuk music sendiri sama kita juga  ada namanya selasa music kita setiap selasa music kita kumpul kita sharing  music kita bikin lagu kita  mix lagu  cover lagu  intinya sih lebih ke hal hal music gitu kan terus kalo untuk yang seni kriya nya itu kita produktif sih ada alat lukis gitu kan terus ada sepatu lukis  tas luki gitu kan lebih ke  bisnis sih kalo untuk yang ininya gitu”
Interviewer: ”Oke…emmmm lo kan sebagai ketua umum ya otomatis  gimana caranya  rekan rekan lo itu bisa menjalani apa yang lo inginkan kan,nah cara cara lo supaya anak anak bisa searah sejalur itu gimana tuh?apa tiap minggu harus dibeberkan misi misinya itu apa gimana?”
Interviewee: ”Mmmm engga sih  kita yang pertama sih karna disini kan keseringannya kita kumpul  disitupun kiita eee mungkin gini kita awalnya kita harus tau konsistensi  ama komitmen gitu kan komimen kita apa disini  dengan kita dari awalpun kita ngomong  kita bicara bareng-bareng kita musyawarah  tentang visi misi sendiri gitu kan,otomatis mereka mempunyai  komitmen masing-masing  gitu kan mengenai  apa yang divisi misikan disini karna kita membangun visi misi ini bukan saya sendiri tapi kita bersama-sama..jadi bisa dibilang lebih mudah gitu kan karna kita komitmennya bersama-sama”
Interviewer: ”Terus satu lagi nih ya,terakhir strategi lo biar rekan rekan lo tetap solid biar rumah sanggar ini bisa maju lama..kan banyak kan sering ada yang stuck terus ngga jalan itu gimana strategi lo?”
Interviewee: ”Komunikasi sih yang utama,karena dengan komunikasi kita bisa tau segala sesuatunya karna tanpa adanya sebuah komunikasi pasti ada timbul sebuah misskomunikasi yang bisa menyebabkan konflik.Intinya kalo kita sering berkomunikasi kta sering kumpul  gitu kan itu mempererat juga tali silaturrahim dan juga itu kan kita makin kukuh itu karna kita sering kumpul itu kan sharing  kita bertukarfikiran kita buat satu hal apa gitu kan intinya  lebih ke ngebangun  dan lebih ke mepersatukan kembali bawasannya ini kita punya visi misi ini loh itu  seperti itu sih secara garis besar aja itu”
Interviewer: ”Oke..makasih san ya gua doain semoga sukseslah gua doain Rumah Subro makin terkenal bisa masuk TV”
Interviewee: ”Aamiin…Aamiin..Thankyou untuk doanya”
Interviewer: ”Selamat malam..”
Interviewee: ”Malam..Bye”

















D.   Analisis Hasil Wawancara
Berdasarkan teori leadership kontingensi kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Subjek melakukan pendekatan dengan karyawan dengan mengadakan acara-acara yang dapat menyatukan kekeluargaan antar karyawan lebih dalam lagi.
Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi atau lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:
a.       Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)
Seperti yang dikatakan oleh subjek “lihat dari sisi apa dulu nih kalo fatal ya kita harus tegas tapi kalo misalnya masih bisa ditoleransi ya tetep yaudah yang penting jangan egois gitu” hal tersebut memperlihatkan bahwa subjek memiliki kekuasaan tetapi dalam melakukan wewenang subjek melihat dari sebab suatu masalah terjadi.
b.      Struktur tugas (task structure)
Dalam organisasi yang dipimpin subjek, subjek membagi karyawannya dalam divisi-divisi agar pengaturan tugas lebih teratur.
c.       Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)
Seperti yang dikatakan subjek, ”kalo gue sih lebih kekeluargaan ya disini, jadi sebenernya kalo secara struktur emang iya gitu kan tapi kalo secara yang kita tetapkan disini lebih kekeluargaan, intinya kalo secara hubungan sih alhamdulillah baik, tapi memang pasti ada aja yang ada suatu hal yang berbau konflik kaya beda pendapat tapi kita selalu setelah berbeda pendapat kita evaluasi,apa nih jadi setelah evaluasi kita kembali lagi” subjek lebih mengedepankan kekeluargaan tetapi tidak menghilangkan struktur organisasi yang telah di tetapkan oleh organisasi dan diselesaikan dengan evaluasi bersama.



E.   Kesimpulan

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi individu atau kelompok di dalam sebuah organisasi baik berskala kecil ataupun besar. Hal ini diperkuat dengan teori kepemimpinan Fiedler “Contingency Theory” yang mengeanggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (grup task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya, dan pendekatannya sesuai dengan kelompoknya. 
Subjek dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang memiliki skor LPC tinggi (pemimpin yang berorientasi ke hubungan). LPC atau Least Prefered Coworked) adalah skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh pemimpin antara diri sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi”. Skor LPC yang tinggi menunjukan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana meyenangkan. Sebaliknya, skor LPC yang rendah menunjukan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama.
Dari hasil wawancara terlihat bahwa subjek memiliki skor LPC yang tinggi, hal ini dibuktikan dengan dalam menjalankan roda organisasinya subjek lebih mementingkan hubungan yang bersifat interpersonal dengan rekan kerjanya dibandingkan dengan pelaksanaan tugas. Subjek juga memiliki orientasi proses daripada orientasi hasil, maksudnya adalah subjek selalu ingin memantau setiap proses yang dikerjakan oleh rekannya bukan hasil melihat hasil akhirnya saja.

Sabtu, 30 Mei 2015

Kesehatan mental merupakan salah satu kajian yang menarik untuk dibahas. Hal ini bukan saja karena konsep itu penting bagi hidup secara individual maupun kommunal, namun yang amat penting jika dikaitkan dengan konteks kekinian yang serba global. Agama berfungsi sebagai terapi bagi jiwa yang gelisah dan terganggu, berperan sebagai alat pencegah terhadap kemungkinan gangguan kejiwaan dan merupakan faktor pembinaan bagi kesehatan mental pada umumnya (Daradjat, 1975: 80).

Agama dianggap sebagai sebuah aturan-aturan yang mutlak yang kental dengan sebuah pegangan hidup guna mencapai kebahagiaan hidup, dimana religiusitas yang akan mereka tonjolkan dalam kehidupan sehari-hari akan bisa dinilai dari aktifitas mereka dalam beragama. Keberagamaan ini muncul akibat kepercayaan seseorang terhadap agama, dimana agama berfungsi sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Adapun fungsi paling mendasar dan universal dari semua agama adalah bahwa agama memberikan orientasi dan motivasi serta membantu manusia mengenal sesuatu yang bersifat sakral.

Kondisi mental memang sangat menentukan dalam hidup ini. Hanya orang yang sehat mentalnya sajalah yang dapat merasa bahagia, mampu, berguna dan sanggup menghadapi kesukaran-kesukaran atau rintangan-rintangan dalam hidup. Apabila kesehatan mental terganggu, akan tampaklah gejalanya dalam segala aspek kehidupan, misalnya perasaan, pikiran, kelakuan dan kesehatan.

Untuk membina kesehatan mental, baik pembinaan yang berjalan teratur sejak kecil, ataupun pembinaan yang dilakukan setelah dewasa, agama sangatlah penting. Seyogyanya agama menjadi unsur-unsur yang menentukan dalam konstruksi pribadi sejak kecil. Akan tetapi, apabila seseorang menjadi remaja atau dewasa tanpa mengenal agama, maka kegoncangan jiwa remaja akan mendorongnya ke arah kelakuan-kelakuan kurang baik (Daradjat, 1975: 78) 

Dalam Islam ada beberapa aspek yang menjadi inti dari sebuah ajaran Islam, diantaranya adalah aqidah, ibadah, rukun Islam dan rukun Iman, muamalah. Dari beberapa aspek tersebut ibadah menjadi utama dalam setiap tatanan kehidupan manusia, sebagai interaksi langsung antara manusia dengan Tuhannya yang dilakukan atas dasar keimanan. Dalam hal ini kadar beribadah shalat dan membaca Al-Qur'an merupakan hal yang memungkinkan untuk mengukur tingkat religiusitas mahasiswa yang dijadikan realisasi dari sikap taatnya kepada Allah SWT.


Thanks to:

Nina Widiana,2013. "HUBUNGAN ANTARA KADAR RELIGIUSITAS DENGAN KESEHATAN MENTAL".skripsi.STAIN SALATIGA.

Ancok Djamaluddin dan Suroso, Fuat Nashori. 1994. Psikologi Islami.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Untuk memenuhi tugas softkill kali ini, saya akan membahas mengenai depresi. seperti yang kita tahu bahwasanya banyak sekali istilah yang masih ada sangkut pautnya dengan depresi. semisal stress, gila, tekanan batin dll. sebenarnya memang gerbang utama depresi ini adalah setres salah satunya. ketikdakmampuan seseorang menghadapi stimulus yang kurang mengenakkan biasanya awal dari stres itu sendiri. ini pendapat pribadi saya.

Pengertian depresi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan tertekan dan perasaan semangat menurun dengan ditandai muram, sedih, loyo; karena tekanan jiwa; keadaan merosotnya hal-hal yang berkenaan dengan semangat hidup (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), 1997).

Sedangkan menurut seorang ilmuwan yang bernama Rice, P. L. (1992) dalam Sabilla (2010), menurutnya depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas.

Gejala-gejala depresi terdiri dari gangguan emosi, gangguan kognitif, keluhan somatik, gangguan psikomotor, dan gangguan vegetatif. Salah satu gejala depresi yang muncul adalah gangguan tidur yang bisa berupa insomnia, bangun secara tiba-tiba, dan hipersomnia. Hal ini disebabkan oleh gangguan neurotransmiter dan regulasi hormon. Selain sebagai gejala depresi, gangguan tidur juga bisa merupakan penyebab depresi. Beberapa penelitian memberikan hubungan gangguan tidur dapat meningkatkan risiko depresi di kemudian hari.



Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami depresi (Riyawati, 2008 : 32) antara lain sebagai berikut :
  • Kematian seseorang yang dicintainya
  • Mengidap penyakit kronis
  • Terpisah dari lingkungan sosial dan merasa kesepian
  • Perceraian atau berpisah dan juga hubungan yang disertai dengan kekerasan
  • Ekonomi dan tekanan hidup lainnya (stress)
  • Hubungan keluarga yang renggang
  • Penurunan dalam hal kemampuan yang telah dimiliki
  • Perpindahan atau adanya perubahan gaya hidup, budaya dan lain-lain.

    Thanks to : 
    Wyn. Eko Radityo, DEPRESI DAN GANGGUAN TIDUR, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
    e-book from http://eprints.undip.ac.id/44205/3/Yan_G2A009075_bab2KTI.pdf


Minggu, 29 Maret 2015

Seperti halnya di tiap-tiap semester perkuliahan sebelumnya, dalam tugas softkill kali ini saya beserta mahasiswa lainnya ditugaskan untuk membuat artikel terkait judul  di atas. Bagaimana sejarah perkembangan kesehatan mental? Apa arti sehat? Arti sehat mental dan juga perbedaan konsep kesmen barat dan timur. Materi di bawah ini didapat dari beberapa e-book yang berupa jurnal dan lain-lain.   Berikut penjabarannya:

I. Sejarah Kesehatan Mental
Pemahaman akan mental yang sehat tak dapat lepas dari pemahaman mengenai sehat dan sakit secara fisik. Berbagai penelitian telah mengungkapkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental individu, dimana pada individu dengan keluhan medis menunjukkan adanya masalah  psikis    hingga taraf gangguan mental. Sebaliknya, individu dengan gangguan mental juga menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiknya. Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu dalam kehidupan manusia.
Pengenalan konsep sehat dan sakit, baik secara fisik maupun psikis merupakan bagian dari pengenalan manusia terhadap kondisi dirinya dan bagaimana penyesuaiannya dengan lingkungan sekitar. Gerakan Kesehatan Mental di masa lalu,  mencoba   memahami gangguan mental dan melakukan intervensi dalam berbagai bidang ilmu untuk mengatasinya. Seringkali tampil kurang manusiawi karena lebih mengedepankan pada aspek penyembuhan dan isolasi dari lingkungan yang dirasa lebih sehat.
Saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma dalam Gerakan Kesehatan Mental yang lebih mengedepankan pada aspek pencegahan gangguan mental serta bagaimana peran komunitas dalam membantu optimalisasi fungsi mental individu.
Gerakan Kesehatan Mental berkembang seiring dengan adanya revolusi pemahaman masyarakat mengenai mental yang sehat dan cara-cara penanganannya, terutama di masyarakat barat. Adapuntahap-tahapan perkembangan gerakan kesehatan mental, yaitu:
1. TAHAP DEMONOLOGI (sebelum abad pertengahan)
Kesehatan mental dikaitkan dengan kekuatan gaib, kekuatan spiritual, setan dan makhluk halus, ilmu sihir, dan sejenisnya. Gangguan mental terjadi akibat kegiatan yang menentang kekuatan gaib tersebut. Sehingga bentuk penanganannya, tidak ilmiah dan kurang manusiawi, seperti: upacara ritual, penyiksaan atau perlakuan tertentu terhadap penderita dengan maksud mengusir roh jahat dari dalam tubuh penderita.





2. TAHAP PENGENALAN MEDIS (4 abad SM – abad ke-6 M)




Mulai 4 abad SM muncul tokoh-tokoh bidang medis (Yunani): Hipocrates, Hirophilus, Galenus, Vesalius, Paracelsus, dan Cornelius Agrippa, mulai menggunakan konsep biologis yang penanganannya lebih manusiawi. Gangguan mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis seseorang, bukan akibat roh jahat. Mendapat pertentangan keras dari aliran yang meyakini adanya roh jahat.





3. TAHAP SAKIT MENTAL DAN REVOLUSI KESEHATAN MENTAL
Mulai muncul pada abad ke-17: Renaissance (revolusi Prancis), dengan tokohnya: Phillipe Pinel. Mengutamakan: persamaan, kebebasan, dan persaudaraan dalam penanganan pasien gangguan mental di rumah sakit secara manusiawi. Terjadi perubahan dalam: pemikiran mengenai penyebab gangguan mental dan cara penanganan dan upaya penyembuhan. Tokohtokoh lain yang mendukung adalah :
a. William Tuke (abad 18), di Inggris: perlakuan moral pasien asylum
b. Benjamin Rush (1745-1813), di Amerika Serikat: merupakan bapak kedokteranjiwa Amerika
b. Emil Kraepelin (1855-1926), di Jerman: menyusun klasifikasi gangguan mental pertama
c. Dorothea Dix (1802-1887), di Amerika: mengajar dan memberikan bantuan  kemanusiaan kepada masyarakat miskin dan komunitas perempuan di penjara
d. Clifford Beers (1876-1943), di Amerika: pengusaha yang mendirikan gerakan       kesehatan mental di Amerika.
4. TAHAP PENGENALAN FAKTOR PSIKOLOGIS (Abad ke-20)
Merupakan Revolusi Kesehatan Mental ke-2: munculnya pendekatan psikologis (Psikoanalisa) yang mempelopori penanganan penderita gangguan mental secara medis dan psikologis. Tokoh utamanya adalah Sigmund Freud, yang melakukan: penanganan hipnose, katarsis, asosiasi bebas, analisis mimpi. Tujuannya adalah mengatasi masalah mental individu dengan menggali konflik intrapsikis penderita gangguan mental. Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan klinis (psikoterapi).
5. TAHAP MULTIFAKTORIAL
Mulai berkembang setelah Perang Dunia II. Kesehatan mental dipandang tidak hanya dari segi psikologis dan medis, tetapi melibatkan faktor interpersonal, keluarga, masyarakat, dan hubungan sosial. Interaksi semua faktor tersebut diyakini mempengaruhi kesehatan mental individu dan masyarakat. Merupakan Revolusi ke-3 Gerakan Kesehatan Mental dengan tokohnya: Whittingham Beers (buku ”A Mind That Found Itself”), William James, dan Adolf Meyer. Menurut pandangan ini, penanganan penderita gangguan mental, lebih baik dilakukan sejak tahap pencegahannya, yaitu:
a. pengembangan perbaikan dalam perawatan dan terapi terhadap penderita gangguan mental
b. penyebaran informasi yang mengarah pada sikap inteligen dan humanis pada         penderita gangguan mental
c. mengadakan riset terkait
d. mengembangkan praktik pencegahan gangguan mental.
  Adapun organisasi terkait yang berkembang, antara lain: Society for  Improvement The Condition of The Insane (London-1842) dan American       Social Hygiene Association (AS-1900).

II. Konsep Sehat
Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya.
Definisi sehat. Sehat (Health) secara umum dapat dipahami sebagai kesejahteraan secara penuh (keadaan yang sempurna) baik secara fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau keadaan lemah. Sedangkan di Indonesia, UU Kesehatan No. 23/ 1992 menyatakan bahwa sehat adalah suatu keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial dimana memungkinkan setiap manusia untuk hidup produktif baik secara sosial maupun ekonomis. World Health Organization (WHO, 2001), menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, sertaberperan serta di komunitasnya.
Sehat sebagai kontinum. Kondisi sehat dan sakit pada manusia merupakan suatu kontinum, sehingga   sangat sulit    memberikan   batasan   yang jelas   saat melakukan evaluasinya.     Akan tetapi,   mengamati   fenomena  tersebut,   maka diyakini taraf kesehatan seseorang dapat ditingkatkan bahkan dioptimalkan. Hal inilah yang mendasari Gerakan Kesehatan Mental dewasa ini. Tidak hanya memandang bagaimana seseorang sembuh dari sakitnya, tetapi bagaimana meningkatkan taraf kesehatan seseorang menjadi lebih optimal.
Individu sehat mental. Pribadi yang normal/ bermental sehat adalah pribadi yang menampilkan tingkah laku yang adekuat & bisa diterima masyarakat pada umumnya, sikap hidupnya sesuai norma & pola kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal & intersosial yang memuaskan (Kartono, 1989). Sedangkan menurut Karl Menninger, individu yang sehat mentalnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan oranglain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia. Saat ini, individu yang sehat mental dapat dapat didefinisikan dalam dua sisi, secara negatif dengan absennya gangguan mental dan secara positif yaitu ketika adirnya karakteristik individu sehat mental. Adapun karakteristik individu sehat mental mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif, seperti: kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang positif, karakter yang kuat serta sifat-sifat baik/ kebajikan (virtues), (Lowenthal, 2006).

III. Perbedaan Konsep Kesmen Barat Dan Timur
Sebenarnya Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan spiritual dan kesehatan psikologi.
Tetapi mungkin terjadi perkembangan konsep dari jaman ke jaman, sehingga terciptalah beberapa model barat dan timur yang memiliki perbedaan yang signifikan.



  • Model Barat
  1. Model Biomedis (Fruend, 1991)
     Dipengaruhi oleh filosofi Yunani (Plato&Aristoteles). Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Ditambah dengan perkemb biologi, penyakit dan kesehatan semata-mata dihubungkan dgn tubuh saja. Semboyan: “Men Sana In Corpore Sano”.
Memiliki 5 asumsi: (Freund, 1991)
l  Tdp perbedaan nyata antara tubuh dan jiwa shg penyakit diyakini berada pada satu bagian tubuh tertentu.
l  Penyakit dapat direduksi pada gangg fungsi tubuh.
l  Penyakit disebabkan oleh suatu penyebab khusus yang secara potensial dpt diidentifikasi.
l  Tubuh seperti sebuah mesin.
l  Tubuh adalah objek yang perlu diatur dan dikontrol.
2.      Model Psikiatris (Helman, 1990)
     Penggunaan berbagai model untuk menjelaskan penyebab gangg mental.
     Model organik: menekankan pada perubahan fisik dan biokimia di otak.
     Model psikodinamik: berfokus pada faktor perkembangan dan pengalaman.
     Model behavioral: psikosis terjadi karena kemungkinan2 lingkungan.
     Model sosial: menekankan gangg dalam konteks performansnya.
  1. Model Psikosomatis (Tamm, 1993)
     Muncul karena ketidakpuasan dengan model biomedis.Dipelopori oleh Helen Flanders Dunbar (1930-an)
     Tidak ada penyakit fisik tanpa disebabkan oleh anteseden emosional dan sosial. Sebaliknya tidak ada penyakit psikis yang tidak disertai oleh simtom somatik.
     Penyakit berkembang melalui saling terkait secara b’kesinambungan antara faktor fisik dan mental yang saling memperkuat satu sama lain melalui jaringan yang kompleks.
  • Model Timur
   Bersifat lebih holistik (Joesoef, 1990).
  1. Holistik sempit
     Organisme manusia dilihat sbg suatu sistem kehidupan yang semua komponennya saling terkait dan saling tergantung.
  1. Holistik luas
     Sistem tersebut merupakan suatu bagian integral dari sistem2 yang lebih luas, dimana orginasme individual berinteraksi terus menerus dengan lingkungan fisik dan sosialnya, yaitu tetap terpengaruh oleh lingkungan tapi jg bisa m’ngaruhi dan mengubah lingkungan.
Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan spiritual dan kesehatan psikologi.

Thanks to:
Kartika sari dewi.(2012).buku ajar kesehatan mental.E-book. UPT UNDIP Press Semarang
Fida' Husain. (2011).KONSEP SEHAT DAN SAKIT PARADIGMA KEPERAWATAN CARING.E-book.UNDIP



M. FAKHRURROZI, M.PSI,PSI.kesehatan mental.ppt